A. Mayoritas dan Minoritas
Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas
adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan
memilik derajat lebih tinggi. Sedangkan kelmpok lain yang dianggap sebagai
kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih
rendah karena memiliki ciri tertentu: cacad secara fisik ataupun mental
sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38)
Konsep mayoritas disini didasarkan oleh dominasi kekuasaan, bukan
dominasi oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih
kecil daripada minoritas. Sebagai contoh adalah saat politik apartheid
dicanangkan di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit putih lebih sedikit
daripada jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih memiliki
kuasa terhadap kelompok kulit hitam. Selain itu, hubungan antarkelompok yang
didasarkan konsep mayoritas dan minoritas dipengaruhi juga oleh konsep
kebudayaan mayoritas dominan (dominant majority culture) yang diangkat
oleh Edward M. Bruner.[4] Sebagai contoh adalah di kota Medan terdiri
atas sejumlah kelompok minoritas tanpa adanya suatu kebudayaan yang dominan
sehingga berkembang persaingan yang ketat antara setiap etnik, dan hubungan
antar etnik terjadi ketegangan.
B. Beberapa Konsep Pembagian Kelompok
Setiap kelompok dapat dibagi-bagi berdasarkan perbedaan dan persamaan
ciri. Dalam membagi kelompok-kelompok tersebut, terdapat beberapa konsep
mengenai kelompok-kelompok yang mempunyai definisi berebeda.
Konsep yang pertama adalah konsep ras. Konsep ras diartikan sebagai suatu tanda peran (role sign)
yang didasarkan pada ciri fisik. Sebagai contoh adalah di daerah Selatan
Amerika, bangsa ras kulit hitam dianggap memiliki peran untuk menghormati ras
kulit putih. Konsep yang kedua adalah konsep yang didasari oleh persamaan
kebudayaan, yaitu kelompok etnik.
Dalam konsep ini, kelompok etnik merupakan suatu bentuk Gemeinschaft
dengan persamaan warisan kebudayaan dan ikatan batin di antara anggotanya.
Konsep ketiga adalah rasisme,
yaitu suatu ideologi yang didasarkan kepada keyakinan bahwa ciri tertentu yang
dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut lebih rendah sehingga
didiskriminasi. Konsep keempat yang juga merupakan ideologi adalah seksisme. Dalam seksisme, hal yang
menjadi dasar klasifikasi adalah kecerdasan dan kekuatan fisik. Contohnya laki-laki
dianggap lebih tinggi daripada perempuan karena fisiknya kuat. Konsep
berikutnya adalah ageisme, yang
menjadikan faktor usia sebagai dasar klasifikasi. Contohnya adalah terkadang
orang yang telah lanjut usia atau anak-anak di bawah umur dianggap tidak
mempunyai kuasa dalam pengambilan keputusan. Konsep yang terakhir adalah rasialisme. Rasialisme merupakan
bentuk praktik disktriminasi terhadap kelompok lain, seperti tidak menjual atau
menyewakan rumah kepada ras atau etnik tertentu.[5]
C. Dimensi Hubungan Antarkelompok.
1). Dimensi
sejarah
Dimensi ini mengarahkan kajian kepada masalah tumbuh dan berkembangnya
hubungan antarkelompok. Kapan dan bagaimana terjadinya kontak pertama antara
kelompok satu dengan kelompok yang lain yang kemudian berkembang menjadi
hubungan dominasi kelompok terseut terhadap kelompok lainnya. Menurut Noel
(1968), stratifikasi etnik dapat terjadi dengan tiga prasyarat: etnosentrisme,
persaingan, dan perbedaan kekuasaan. Tiga prasyarat ini tidak bisa dipisahkan
karena apabila satu prasyarat saja tidak terpenuhi, stratifikasi tidak akan
terjadi. Kemudian stratifikasi jenis kelamin juga memilik sejarahnya.
Stratifikasi ini pada awalnya terjadi karena perbedaan kekuatan fisik yang
akhirnya memunculkan dominasi dan eksploitasi kau laki-laki terhadap perempuan.
(Kamanto Sunarto, 2004: 147-148)
2). Dimensi
institusi
Institusi berfungsi sebagai pengendalian sosial, sikap dan hubungan
antarkelompok. Namun begitu, institusi juga bisa menghilangkan pola hubungan
tersebut. Contohnya adalah kebijakan apartheid yang dicanangkan di
Afrika Selatan pada masa lampau, merupakan kebijakan yang ditegakkan oleh
institusi politik dan ekonomi.
3). Dimensi
gerakan sosial
Kajian dalam sudut pandang ini memperhatikan berbagai gerakan sosial
yang sering terjadi karena dilakukan oleh suatu kelompok tertentu karena
pengaruh dominasi dan kekuasaan. Kelompok-kelompok tertentu yang didominasi
oleh kelompok lain akan berusaha melakukan gerakan pembebasan. Sebagai contoh
adalah gerakan Black Panthers di Amerika Serikat dan gerakan pembebasan
perempuan (Woman’s Liberation Movement).
4). Dimensi
sikap
Hubungan antarkelompok akan menimbulkan perwujudan sikap berupa
prasangka (prejudice). Sikap ini merupakan istilah yang mengacu kepada
sikap bermusuhan karena kelompok lain memiliki suatu ciri yang tidak
menyenangkan, namun dugaan ini tidak didasarkan pada pengetahuan, pengalaman,
atau bukti yang cukup konkret.
Konsep yang erat kaitannya dengan konsep prejudice adalah stereotip. Stereotip merupakan citra
yang kaku terhadap suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa
memperhatikan kebenaran dari citra tersebut.[6] Dengan kata lain, stereotip tidak
mengindahkan fakta-fakta yang bersifat objektif. Sebagai contoh adalah
stereotip orang Amerika terhadap orang Polandia, yang menganggap orang Polandia
tersebut kotor, bodoh, tidak berpendidikan. Hal ini disebabkan orang Polandia
yang bermigrasi pada abad ke-19 adalah petani yang tidak berpendidikan.[7]
Mengenai stereotip ini, penulis mencoba mencari data tentang
aturan-aturan dalam kelompok yang berbeda, yang mana aturan-aturan tersebut
memilik pengaruh dalam penataan hubungan sesama anggota kelompok maupun dengan
luar kelompok. Data tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini:
Jenis Kelompok
|
Alasan Masuk
|
Aturan-aturan
|
|||
Formal
|
Informal
|
||||
Dalam Kelompok
|
Keluar Kelompok
|
Dalam Kelompok
|
Keluar Kelompok
|
||
Hobi
|
Disukai dan alasan mengasah kemampuan
|
Disiplin
|
Menjaga silaturahmi
|
Saling sharing pengetahuan,
|
Menganggap kelompok lain lebih lemah
|
Akademis
|
Menambah ilmu
|
Disiplin
|
Mitra
|
Tidak ada
|
Pandangan kelompok lain lebih sempit
|
Pekerjaan
|
Cari uang
|
Disiplin
|
Mitra
|
Solidaritas
|
Saingan
|
Daerah
|
Memperkuat persaudaraan
|
Ikut serta berpartisipasi
|
Tidak ada hak suara
|
Solidaritas, saling menghargai
|
Kelompok lain tidak ada etika, tidak ada
kepentingan.
|
Keagamaan
|
Cari teman se-iman
|
Rajin kumpul
|
Menjaga silaturahmi
|
Solidkan persaudaraan
|
Saling menjaga perasaan
|
Jenis kelompok pada tabel di atas diurut berdasarkan kategori yang
banyak dimasuki oleh setiap individu. Kategori kelompok berdasarkan persamaan
hobi paling banyak dimasuki oleh setiap individu, sementara keagamaan adalah
yang paling sedikit. Alasan dan aturan yang paling dominan adalah peraturan
formal, yaitu tentang disiplin. Pada peraturan informal, anggapan buruk
terhadap kelompok lain lebih dominan dan paling banyak daripada aturan lain
yang ada. Berdasarkan tabel di atas, konsep stereotip menjadi sangat penting
karena mempengaruhi suatu kelompok akan sudut pandangnya terhadap kelompok
lain. Seperti jenis kelompok daerah, yang mana sangat menjunjung tinggi
solidaritas dan saling menghargai, menganggap kelompok daerah lain atau orang
yang berasal dari luar tidak beretika. Dengan adanya stereotip seperti ini
muncul suatu peraturan tak tertulis yang dipahami oleh setiap anggota bahwa
orang yang berasal dari luar kelompok itu tidak penting.
Hal ini menjadi sangat menarik karena berbagai stereotip telah
berkembang di masyarakat terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu. Sebagai
contoh adalah terhadap kelompok buruh. Sebagian besar masyarakat terlalu
menyederhanakan seorang buruh. Buruh dianggap sebagai orang yang berambisi dan
rajin karena sesuap nasi, namun mereka tidak cerdas, dan bahkan sebagian besar
dari buruh dianggap sebagai orang yang tidak berpendidikan, tidak jujur, tidak
menarik, dan tidak mempunyai sopan santun. Pada masa merkantilisme pun, penindasan
dilakukan kepada para buruh karena buruh dianggap sebagai seorang tenaga kerja
yang hanya berharga apabila bisa bekerja, tetapi saat kekuatan kerjanya sudah
habis, buruh tidak memiliki harga sama sekali.
Menurut hemat penulis, pernyataan di atas (mengenai stereotip masyarakat
terhadap kelompok buruh) ada benarnya. Karena memang menjadi suatu hal yang
logis apabila seorang yang tidak berpendidikan tinggi menjadi seorang buruh.
Akan tetapi hal itu bisa disebabkan faktor keberuntungan. Selain itu bukan berarti
para buruh tidak memiliki sopan santun serta etika yang baik. Akhlak dan budi
pekerti seseorang memang dapat dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi ada pengaruh
agama yang dianut setiap orang. Dan pada kenyataan empiris, seorang buruh lebih
taat terhadap agama (yang didalamnya diatur tentang sopan santun dan etika)
daripada orang yang memiliki taraf hidup lebih tinggi.
Dilihat dari sudut pandang konsep mayoritas dan minoritas, dapat kita
kaji aturan-aturan informal dalam jenis kelompok hobi dan akademik. Misalnya
dalam sebuah forum studi tentang perfilman ataupun musik, forum tersebut akan
mempunyai dominasi apabila memilik kuasa. Kuasa dalam bentuk apa? Tentunya
dalam permasalahan ini kuasa yang dimaksud adalah keunggulan yang lebih dari
kelompok-kelompok lain yang sejenis. Dalam forum studi perfilman tersebut,
misalnya, para anggotanya memang diakui memiliki skill dan pengetahuan
yang bagus tengan film. Kelompok-kelompok studi lain akan menghormati kelompok
tersebut sehingga timbullah suatu pengaruh yang mendominasi dari forum studi
itu. Karena gejala seperti itu, anggota-anggota dari forum studi itu memiliki
suatu pandangan bahwa tidak ada yang lebih unggul dari kelompok mereka. Bahkan
muncul suatu stereotip terhadap kelompok lain, dimana forum studi tersebut
terlalu menganggap remeh kelompok-kelompok studi yang baru terbentuk.
Masalah adanya stereotip ini akan mempengaruhi aturan-aturan dalam
kelompok-kelompok tersebut. Sebagai contoh adalah kategori kelompok pekerjaan.
Sebuah rumah makan akan menganggap usaha rumah makan orang lain adalah saingan.
Pemahaman seperti itu akan diterapkan kepada para pegawai. Para pegawai bahkan
dilarang bergaul dengan pegawai dari rumah makan lain demi menjaga citra dan
gengsi rumah makan itu.
D. Pengertian
Kelompok etnik Minoritas
Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat
diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu
negara, kelompok minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan
ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari
mayoritas penduduk. Minoritas sebagai ‘kelompok’ yang dilihat dari jumlahnya
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya dari negara
bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan. Keanggotaannya memiliki karakteristik
etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dengan populasi lainnya dan
menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang ditujukan pada
melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa.
Sehubungan dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir
ini sering muncul kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal
ini merupakan masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan
dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan
yang dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi
diskriminasi terhadap hak-hak kelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan
yang berkenaan dengan jabatan dan pekerjaan bagi penyandang cacat, sehingga
sampai saat ini dirasakan masih ‘belum terpenuhinya hak-hak kelompok
minoritas’.
Permasalahan yang dihadapi di berbagai daerah Indonesia adalah masih
banyak diskriminasi terhadap kelompok minoritas baik etnis maupun agama,
padahal mereka sebagai masyarakat atau suku bangsa harus diberlakukan sama
dengan kelompok mayoritas lainnya.
Dalam rangka pemajuan dan perlindungan kaum minoritas antara lain adanya
larangan diskriminasi karena diskriminasi berdampak negatif pada kaum minoritas
secara politik, sosial, budaya dan ekonomi serta merupakan sumber utama
terjadinya ketegangan. Diskriminasi berarti menunjukan perbedaan, pengecualian,
pembatasan atau pengistimewaan apapun berdasarkan alasan seperti ras, warna
kulit, bahasa, agama atau asal-usul kebangasaan atau sosial, status kelahiran
atau status lainnya, yang mempunyai tujuan atau pengaruh untuk meniadakan atau
merusak pengakuan, penikmatan, pemenuhan semua hak dan kebebasan dari semua
orang yang setara.
Rambu-rambu perlindungan yang penting yang akan menguntungkan kaum
minoritas mencakup pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum, persamaan
dihadapan badan-badan pengadilan, persamaan dihadapan hukum, perlindungan hukum
yang sama disamping hak penting seperti kebebasan beragama, menyatakan pendapat
dan berserikat.
Dalam hubungan ini telah banyak diberlakukan berbagai peraturan
perundangan sebagai instrumen hukum dan HAM nasional disamping instrumen HAM
Internasional, seperti:
(a) Konvenan
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras 1965 (Pasal 1);
(b) Deklarasi
UNESCO tentang Ras dan Prasangka Ras 1978 (Pasal 1, 2 dan 3); dan
(c) Deklarasi
Berdasarkan Agama dan Kepercayaan 1981 (Pasal 2).
Sedangkan penjelasan ketentuan umum Undang-undang Hak Asasi Manusia No.
39 tahun 1999, diskriminasi adalah pembatasn, pelecehan atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik,kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya. Secara normatif bentuk perlindungan hukum telah diatur melalui
instrumen internasional maupun nasional yang berkaitan dengan HAM terhadap
kelompok minoritas, namun dalam implementasi masih dinilai perlu untuk menjadi
perhatian bersama. Hal ini mencakup pola interaksi antara kelompok minoritas
dengan kelompok lainnya untuk dilakukan dengan baik berlandaskan azas
keterbukaan dan toleransi terhadap tata nilai semua kelompok yang ada di
masyarakat.
E. “Tekanan”
Kelompok Mayoritas
Dalam suatu komunitas, kita sadari maupun tidak, sering terbentuk
kelompok-kelompok kecil lainnya. Secara umum, kelompok-kelompok tersebut kita
bedakan menjadi dua. Mereka adalah kelompok
mayoritas dan kelompok minoritas.
Pembedaan kelompok ini terjadi entah berdasarkan gaya hidup, minat, agama,
faham, atau pun lainnya. Penggolongan tersebut mengakibatkan “kekuasaan”
kelompok mayoritas lebih besar dari yang lain. Yang nantinya, “kekuasaan” itu
secara tidak langsung mengakibatkan “tekanan” kepada kelompok yang tidak/kurang
mempunyai “kekuasaan”.
Sekarang, mari kita bahas “tekanan” kelompok mayoritas. “Tekanan” ini
tidak hanya menekan minoritas saja. Tekanan dapat menekan segala pihak:
minoritas, pendatang, maupun orang luar. Mengapa disini pihak “pendatang”
dipisahkan dengan “minoritas”? Karena “pendatang” berbeda. “Pendatang” masih
benar-benar baru, belum terikat dengan kelompok mana pun. Nantinya mereka dapat
bergabung dengan “mayoritas”, “minoritas”, ataupun keduanya (terpecah). Kembali
ke masalah tekanan. Tekanan ke pihak minoritas, jelas merupakan suatu yang
pasti, mayoritas pasti akan menekan minoritas, mau – tidak mau, langsung –
tidak langsung. “Tekanan” ini berupa berbagai macam, bisa berupa tekanan dalam
berpendapat, kebebasan, fisik, atau mental. Untuk lebih mudahnya, misalnya,
tekanan dalam berpendapat. Pendapat kaum mayoritas tentu selalu lebih diakui
dibandingkan dengan pendapat minoritas, terlepas dari baik dan buruknya. Lalu
contoh untuk tekanan kebebasan. Misalnya si A dari kaum minoritas ingin ke
daerah B. Namun daerah B rupanya dilarang oleh kaum mayoritas. Maka si A tidak
bisa kesana, kecuali dengan mempertaruhkan resiko konflik dengan kaum mayoritas
— perlawanan mental atau fisik. Yang berarti konflik tersebut berdampak lagi ke
tekanan mental atau fisik dari kaum mayoritas.
Selain ke kaum minoritas, tekanan ini juga berdampak ke kaum pendatang.
Jika ada pendatang baru di suatu komunitas, hal pertama yang dilakukan tentu
adalah adaptasi. Dan selama proses adaptasi tersebut, “tekanan” kaum mayoritas
kembali memainkan perannya. Agar bisa diterima di suatu komunitas, tentu
pendatang berusaha untuk bersosialisasi. Dan proses sosialisasi tersebut,
biasanya ke para kaum mayoritas, selain karena kaum mayoritas secara jumlah memang
lebih banyak, mereka juga lebih diakui dibanding minoritas. Akhirnya, mengira
bahwa kehidupan di tempat baru seperti yang sudah dipraktekkan oleh kaum
mayoritas, pendatang lambat laun juga mengikuti dan bergabung dengan kaum
mayoritas. Walaupun begitu, hal ini tidaklah mutlak. “Tekanan” ini masih
bersifat relatif, masih bergantung pada “kekuatan” minoritas untuk
mempertahankan eksistensinya dan “pribadi” pendatang itu sendiri.
Selain, minoritas dan pendatang, efek “tekanan” ini juga ke para “orang
luar”. “Orang luar” bukanlah bagian dari kaum mayoritas, minoritas, maupun
pendatang. “Orang luar” adalah orang luar, bukan bagian dari suatu komunitas
tersebut. Mereka adalah “komunitas” lain yang setara, lebih tinggi, atau lebih
rendah; orang yang keluar dari komunitas tersebut; atau individu yang bukan
bagian dari “komunitas” mana pun, pengamat. Seperti apakah tekanan yang
diberikan oleh kaum mayoritas, sampai-sampai berdampak ke “orang luar”? Banyak.
Sedikit dari itu, adalah “tekanan” keputusan, dan “tekanan” pendapat (bukan
“tekanan” dalam berpendapat). Contoh dari tekanan keputusan, adalah misalnya
rakyat negara A sering berdemo atas pemerintahannya, dan pemerintah akhirnya
memenuhi keinginan rakyat. Tapi, apakah semua
rakyat menginginkan hal tersebut? Tidak. Masih ada kaum minoritas yang belum
tentu setuju dengan keinginan mayoritas. Contoh aktual adalah kasus
Tibo. Lalu, “tekanan” pendapat. Saya tegaskan sekali lagi, tekanan
pendapat ini berbeda dengan tekanan dalam berpendapat yang diberikan ke kaum
minoritas. Tekanan pendapat ini, adalah tekanan yang mempengaruhi pendapat
“orang luar” ke suatu komunitas. Misalnya, masih mengambil contoh negara A
tadi. Rakyatnya sering berdemo. Maka, “orang luar” (dalam hal ini, negara lain)
menilai bahwa rakyat negara A adalah rakyat yang sering berdemo. Padahal, itu
adalah hal yang diakibatkan oleh kaum mayoritas. Dan yang seperti ini dapat
dikatakan “tekanan”, karena secara tidak langsung “menekan” orang luar untuk
beranggapan bahwa rakyat negara A adalah pendemo.
Begitulah “tekanan” yang diberikan oleh kaum mayoritas. Apakah tindakan
kaum mayoritas selalu benar? Apakah opini mereka adalah yang terbaik? Apakah
pemikiran mereka patut dijadikan tuntunan dalam masyarakat? Jawabannya tidak.
Tidak segala hal yang diberikan oleh kaum mayoritas adalah yang terbenar,
terbaik, dan patut dijadikan tuntunan. Mengutip pernyataan Bethla Garrison / Gun
dengan sedikit modifikasi :
Jika ada 10 orang yang berkumpul, dari 9 di antara mereka mengatakan 1 +
1 = 3, sedangkan yang satu orang mengatakan 1 + 1 = 2, siapakah yang benar?
Anda hanya melihat kebenaran berdasarkan suara terbanyak. Padahal suara
terbanyak belum tentu benar.
Dan bagaimanakah cara kaum lainnya menghadapi tekanan ini? Untuk kaum
minoritas, adalah dengan memperjuangkan eksistensinya di komunitas tersebut.
Jika kaum minoritas hanya semakin mengucilkan diri, eksistensinya makin lama
makin tidak diakui. Namun memperjuangkan eksistensi bukan selalu berarti
“bergabung” dengan mayoritas. Kaum minoritas harus mempunyai spesialisasi
tersendiri, yang membuat “orang luar”, “pendatang”, dan bahkan “mayoritas”
mengakui dan menghargai pendapat “minoritas”, sehingga meminimalisir diferensi
antara “mayoritas” dan “minoritas”.
F. “Hubungan”, Konflik: Perspektif
Mayoritas-Minoritas
Kemajuan dalam berbagai bidang ilmu dan kehidupan manusia membawa akibat
adanya perjumpaan yg makin intensif antar kelompok2 manusia. pergesekan antar
budaya lokal satu dengan yg lain tak terhindarkan. dalam kaitan dengan
keyakinan agama, apalagi ditambah dengan faktor keyakinan agama yg punya
kecenderungan bersifat mutlak, pergesekan itu dapat menjadi benturan yg
mengakibatkan pemecahbelahan dan perusakan kehidupan bersama.
Ada fenomena menarik dalam hubungan antar umat beragama, yg terkondisi
dalam hubungan mayoritas-minoritas. dari sejarah dan pengalaman konkrit
kehidupan ini, kita dapat melihat gejala sikap superior, agresif, dan ‘mau
menang sendiri’ dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Biasanya
kelompok minoritas punya kecenderungan untuk lebih bersifat terbuka dan mau
toleran, walau itu mungkin demi kelangsungan hidupnya di tengah mayoritas yg
‘agresif ‘ itu. gejala semacam itu juga tampak dalam hubungan antar umat
beragama, di mana yg satu menjadi mayoritas dalam kehidupan bersama dan yg lain
menjadi minoritas. kelompok mayoritas hampir selalu membawa sikap superior. dan
sikap itu jelas merusakkan kehidupan bersama. jika kelompok minoritas itu
bersikap eksklusif, punya fanatisme tinggi, dan militan, bisa kita
bayangkan kekacauan dalam kehidupan bersama yg akan terjadi. peristiwa sehari2
di Barat dan Timur, terutama yg berkaitan dengan perjumpaan antar umat beragama,
menunjukkan kebenaran hal ini : kelompok mayoritas ( Kristen di Barat, Hindu di
India, Islam di banyak negara Islam, dll. ) pada umumnya menunjukkan gejala
superioritasnya, sedang kelompok agama minoritas ( apapun agama itu ) hampir
selalu menunjukkan sikapnya yg lebih sehat, positif, terbuka, dan toleran.
Gejala hubungan mayoritas-minoritas di atas menunjukkan bahwa faktor
ajaran agama bukanlah penyebab utama masalah benturan antar umat beragama, atau
bahkan dapat dikatakan bahwa benturan itu tidak berkaitan dengan masalah
keagamaan. perbedaan yang ada tidak harus menghasilkan benturan yg berakibat
pemecahbelahan atau perusakan kehidupan bersama. faktor mayoritas ( faktor
orangnya, yg merasa diri berjumlah dan berkekuatan besar ) itulah yg menjadi
penyebab utama benturan yg merusak !! jadi benturan itu hanya gejala sosiologis
biasa : kelompok mayoritas selalu mau menang dan cenderung sewenang2. pada
banyak kasus alasan keagamaan ( klaim kebenaran ) hanya ‘alat bantu’ untuk
membenarkan ‘naluri’ mayoritasnya (band. kelompok umat dari agama yg sama, saat
ia menjadi minoritas, bersikap positif, terbuka, dan toleran - klaim kebenaran
mereka tidak merusakkan kehidupan bersama ; selain itu gejala ‘mencampur aduk’
dua macam benturan - yg berciri keagamaan dan berciri ke-ras/suku-an - seperti
yg sering terjadi di Indonesia, menunjukkan bahwa alasan keagamaan bukanlah
alasan yg sesungguhnya ! ). tentu ada pengecualiannya : pada kelompok
fundamentalis, apalagi yg ekstrim, alasan keagamaan dapat menjadi alasan utama
( dan tentunya tidak mencampur-adukkannya dengan benturan yg berciri
ke-ras/suku/budaya-an). sekali lagi, gejala benturan mayoritas-minoritas antar
umat beragama ini lebih bersifat sosiologis, seperti yg juga terjadi dalam
hubungan mayoritas-minoritas di luar kelompok2 keagamaan. jika masalah
keagamaan ada dalam benturan itu, maka masalah itu hanya bersifat sampingan (
atau bahkan merupakan penyalahgunaan agama untuk maksud2 yg tidak bersifat
keagamaan).
Masalah sosiologis - rasa superioritas kelompok mayoritas - adalah
penyebab utama benturan antar umat beragama. tetapi, disadari atau tidak,
alasan keagamaan seringkali muncul dan dimanfaatkan dalam sikap agresif
kelompok mayoritas. dalam kelompok fundamentalis, jelaslah alasan keagamaan ini
yg jadi pemicu benturan antar umat beragama yg ada. bentuk alasan keagamaan itu
erat berkaitan dengan warisan tradisi ajaran kelompok2 agama itu. apapun alasan
utamanya, pemakaian alasan keagamaan itu menimbulkan ironi : kelompok keagamaan
yg menyatakan diri sebagai pembawa misi penyelamatan dan pendamaian bagi umat
manusia, justru jadi salah satu ’sponsor’ utama dalam perusakan kemanusiaan dan
kehidupan bersama. citra buruk akan melekat pada kelompok2 keagamaan, dan
mereka akan gagal dalam misi agungnya.
G. Aktivitas
buku Sosiologi ESIS 2 halaman 151
1. Apakah kelompok
mayoritas dan Minoritas termasuk ke dalam kelompok Sosial? Bagaimana hubungan
antara kedua kelompok tersebut?
2. Amati masyarakat anda. Bagaimana
polo hubungan antarkelompok sosialnya?
H.Kesimpulan yang dapat saya ambil
1. Iya,karena Setiap kelompok dapat dibagi-bagi berdasarkan
perbedaan dan persamaan ciri. Dalam membagi kelompok-kelompok tersebut,
terdapat beberapa konsep mengenai kelompok-kelompok yang mempunyai definisi
berebeda. Seperti kelompok mayoritas adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memilik derajat lebih tinggi.
Sedangkan kelmpok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah mereka
yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri
tertentu. Sehingga, diantara kedua kelompok memiliki cara berhubungan dan cara
berinteraksi sendiri-sendiri sehingga mengakibatkan timbulnya rasa kebersamaan
dan rasa memiliki dalam masing-masing kelompok, sehingga terjadi perbedaan
definisi antara kedua kelompok tersebut. Hubungan kelompok mayoritas dan minoritas.
a. Dalam Agama
Biasanya kelompok minoritas punya kecenderungan untuk lebih bersifat
terbuka dan mau toleran, walau itu mungkin demi kelangsungan hidupnya di tengah
mayoritas yg ‘agresif ‘ itu. gejala semacam itu juga tampak dalam hubungan
antar umat beragama, di mana yg satu menjadi mayoritas dalam kehidupan bersama dan
yg lain menjadi minoritas. Kelompok mayoritas hampir selalu membawa sikap
superior. dan sikap itu jelas merusakkan kehidupan bersama. jika kelompok
minoritas itu bersikap eksklusif, punya fanatisme tinggi, dan militan,
bisa kita bayangkan kekacauan dalam kehidupan bersama yg akan terjadi.
peristiwa sehari2 di Barat dan Timur, terutama yg berkaitan dengan perjumpaan
antar umat beragama, menunjukkan kebenaran hal ini : kelompok mayoritas (
Kristen di Barat, Hindu di India, Islam di banyak negara Islam, dll. ) pada
umumnya menunjukkan gejala superioritasnya, sedang kelompok agama minoritas (
apapun agama itu ) hampir selalu menunjukkan sikapnya yg lebih sehat, positif,
terbuka, dan toleran.
Gejala hubungan mayoritas-minoritas di atas menunjukkan bahwa faktor
ajaran agama bukanlah penyebab utama masalah benturan antar umat beragama, atau
bahkan dapat dikatakan bahwa benturan itu tidak berkaitan dengan masalah
keagamaan. perbedaan yang ada tidak harus menghasilkan benturan yg berakibat
pemecahbelahan atau perusakan kehidupan bersama. faktor mayoritas ( faktor
orangnya, yg merasa diri berjumlah dan berkekuatan besar ) itulah yg menjadi
penyebab utama benturan yg merusak !! jadi benturan itu hanya gejala sosiologis
biasa : kelompok mayoritas selalu mau menang dan cenderung sewenang2. pada
banyak kasus alasan keagamaan ( klaim kebenaran ) hanya ‘alat bantu’ untuk
membenarkan ‘naluri’ mayoritasnya (band. kelompok umat dari agama yg sama, saat
ia menjadi minoritas, bersikap positif, terbuka, dan toleran - klaim kebenaran
mereka tidak merusakkan kehidupan bersama ; selain itu gejala ‘mencampur aduk’
dua macam benturan - yg berciri keagamaan dan berciri ke-ras/suku-an - seperti
yg sering terjadi di Indonesia, menunjukkan bahwa alasan keagamaan bukanlah
alasan yg sesungguhnya ! ). tentu ada pengecualiannya : pada kelompok
fundamentalis, apalagi yg ekstrim, alasan keagamaan dapat menjadi alasan utama
( dan tentunya tidak mencampur-adukkannya dengan benturan yg berciri
ke-ras/suku/budaya-an). sekali lagi, gejala benturan mayoritas-minoritas antar
umat beragama ini lebih bersifat sosiologis, seperti yg juga terjadi dalam
hubungan mayoritas-minoritas di luar kelompok2 keagamaan. jika masalah
keagamaan ada dalam benturan itu, maka masalah itu hanya bersifat sampingan (
atau bahkan merupakan penyalahgunaan agama untuk maksud2 yg tidak bersifat
keagamaan).
b. Dalam Masalah sosiologis
Rasa superioritas kelompok mayoritas - adalah penyebab utama benturan
antar umat beragama. tetapi, disadari atau tidak, alasan keagamaan seringkali
muncul dan dimanfaatkan dalam sikap agresif kelompok mayoritas. dalam kelompok
fundamentalis, jelaslah alasan keagamaan ini yg jadi pemicu benturan antar umat
beragama yg ada. bentuk alasan keagamaan itu erat berkaitan dengan warisan
tradisi ajaran kelompok2 agama itu. apapun alasan utamanya, pemakaian alasan
keagamaan itu menimbulkan ironi : kelompok keagamaan yg menyatakan diri sebagai
pembawa misi penyelamatan dan pendamaian bagi umat manusia, justru jadi salah
satu ’sponsor’ utama dalam perusakan kemanusiaan dan kehidupan bersama. citra
buruk akan melekat pada kelompok2 keagamaan, dan mereka akan gagal dalam misi
agungnya.
Jadi, antara kelompok Mayoritas
dan Minoritas seringkali terjadi konflik.
2. Didalam
hubungan antara masyarakat dengan masyarakat lain, yang paling penting ialah reaksi
yang timbul akibat hubungan-hubungan social tersebut. Reaksi yang timbul itu,
menyebabkan tindakan dan tanggapan seseorang menjadi bertambah luas. Misalnya
hubungan antar masyarakat dimulai sejak seseorang mempunyai teman, dia
memerlukan reaksi, entah yang berujut pujian atau celaan, yang mendorong
munculnya tindakan-tindakn selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar